Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc
"Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu: dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya!’ (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar. Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan adzab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” [Saba’/34:15-1]
PENDAHULUAN
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan nikmat yang diberikan kepada keluarga (Nabi) Dawud ‘alaihimussalâm, bentuk syukur mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan pengabaran bahwa hanya sedikit di antara hambanya yang bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang telah diberikan (pada ayat-ayat yang sebelumnya-pen), Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kisah anak-keturunan Saba’.
Ini adalah salah satu bentuk nikmat dan kasih sayang yang diberikan oleh Allâh kepada manusia. Dia Azza wa Jalla menceritakan kabar-kabar kaum yang dibinasakan dan diadzab kepada orang-orang yang tinggal berdekatan dengan bangsa Arab. Mereka menyaksikan langsung peninggalan-peninggalan serta saling menceritakan kabar kehancuran kaum tersebut. Dengan tujuan, mereka akan lebih membenarkan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lebih dapat menerima peringatan dari beliau.
Saba’ adalah suatu kabilah yang terkenal di negeri Yaman. Nama lengkap Saba’ adalah Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthân. Tempat tinggal mereka berada di suatu daerah yang disebut Ma’rib. Allâh telah memberikan kepada mereka nikmat yang sangat besar, tetapi mereka tidak mensyukuri nikmat tersebut, sehingga Allâh menurunkan adzab dan mencabut nikmat-Nya. Itu adalah balasan yang setimpal untuk orang yang sangat kafir.
SIAPAKAH SABA’ ITU?
Dalam hadits Farwah bin Musaik, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Ya Rasûlullâh! Kabarkanlah kepadaku tentang Saba’! Apakah Saba’ itu? Apakah dia itu (nama) suatu tempat ataukah (nama) wanita?”
Beliau pun menjawab: Dia bukanlah (nama) suatu tempat dan bukan pula (nama) wanita, tetapi dia adalah seorang laki-laki yang memiliki sepuluh anak dari bangsa Arab. Enam orang dari anak-anaknya menempati wilayah Yaman dan empat orang menempati wilayah Syam [1]
Dalam riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma terdapat tambahan, “Adapun yang menempati Yaman, mereka adalah: Madzhij, Kindah, Al-Azd, Al-Asy’ariyûn, Anmâr dan Himyar. Adapun yang menempati Syam, mereka adalah: Lakhm, Judzâm, ‘Âmilah dan Ghassân.”[2]
Berdasarkan literatur-literatur sejarah [3] , Saba’ juga dikenal dengan nama ‘Abdusy-Syams (Hamba Matahari). Kesepuluh orang anak Saba’ tersebut sekarang dikenal sebagai nama-nama kabilah.
KERAJAAN SABA’
Kerajaan Saba’ adalah kerajaan yang berdiri sejak abad ke-10 SM atau sebelumnya. Kerajaan ini mencapai masa kejayaan di abad ke-8 SM. Pada abad itulah Ratu Bilqis, istri Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm, hidup. Perlu diketahui bahwa Bilqis termasuk keturunan Saba’ dan pernah memimpin kerajaan Saba’. Pada abad itu pulalah dibangun bendungan raksasa yang menghebohkan dunia.
Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasan yang sangat luas sekali, meliputi: seluruh Jazirah Arab bagian selatan, Laut Merah, Iritria dan Etiopia Timur di benua Afrika.
Kerajaan ini berpusat di Ma’rib, suatu daerah di Yaman yang berjarak 170 km dari Shan’â’, Ibu kota Yaman saat ini. Mengalami kehancuran pada tahun 550 M.
KEHEBATAN KAUM SABA’
Kerajaan Saba’ juga terkenal dengan kekuatan bala-tentaranya, sehingga dapat mengalahkan banyak kerajaan lain di sekitarnya. Allâh Azza wa Jalla mengabadikan kisah Ratu Bilqis ketika dia menanyakan bagaimana pendapat pejabat-pejabat di sekitarnya tentang ancaman yang datang dari Nabi Sulaiman Alaihissallam :
Mereka menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” [an-Naml/27:33]
Pada tahun 24 SM tentara kerajaan Saba’ berhasil menaklukkan tentara Markus Ilyus Galus dari kerajaan Romawi, yang pada saat itu dunia mengenalnya dengan kekuatan bala-tentara yang tidak ada tandingannya.
KEMAKMURAN KAUM SABA’
Kerajaan ini terkenal dengan hasil alamnya sehingga banyak orang yang berhijrah dan berdagang ke sana. Dengan demikian, kerajaan ini bisa menjadi kerajaan yang sangat kaya dan makmur pada saat itu. Allâh Azza wa Jalla mengabadikan keadaan mereka di dalam al-Qur’ân:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allâh) di tempat kediaman mereka, yaitu: dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri [Saba’/34:15]
SEPERTI APA DUA KEBUN ITU?
Dua kebun itu sangat luas dan terletak di hamparan lembah antara dua gunung di Ma’rib. Tanahnya sangat subur dan menghasilkan berbagai macam tanaman dan buah-buahan.
Qatâdah rahimahullah dan ‘Abdurrahmân bin Zaid rahimahullah, dua orang tâbi’i, menceritakan bahwa apabila ada seseorang masuk ke dalam kebun itu dengan membawa keranjang di atas kepalanya, ketika keluar maka keranjang tersebut akan dipenuhi dengan buah-buahan tanpa harus memetik buah tersebut.
Abdurrahmân bin Zaid rahimahullah menambahkan bahwa di sana tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga, kelajengking dan ular.[4]
Penyebutan dua kebun di ayat ini tidak berarti bahwa kebun itu jumlahnya hanya dua, tetapi yang dimaksud dengan dua kebun adalah kebun-kebun yang berada di sebelah kiri dan kanan lembah tersebut. Kebun-kebunnya sangat banyak dan beragam, sebagaimana dikatakan oleh al-Qusyairi rahimahullah [5] .
MENGAPA LEMBAH ITU BISA MENJADI SANGAT SUBUR?
Lembah itu menjadi sangat subur karena adanya bendungan yang bisa menampung air yang sangat banyak. Bendungan itu terkenal dengan nama bendungan Ma’rib atau bendungan ‘Arim. Bendungan itu berukuran panjang 620 m, lebar 60 m dan tinggi 16 m.
Bendungan yang sangat menakjubkan ini didirikan pada abad ke-7 atau ke-8 SM. Disebutkan di beberapa catatan sejarah bahwa yang membangunnya adalah Raja Saba’ bin Yasyjub. Adapun di beberapa buku tafsir [6] disebutkan bahwa yang membangunnya adalah Ratu Bilqis. Karena terjadi pertikaian di kaumnya dalam pemanfaatan air wâdi [7] , sehingga mereka saling membunuh untuk merebutnya, maka Ratu Bilqis berinisiatif untuk mendirikan bendungan itu.
Dengan adanya bendungan itu, kaum Saba’ tidak perlu merasa takut akan persediaan air dan mereka dapat memanfaatkannya untuk pengairan (irigasi) kebun-kebun mereka. Ini adalah nikmat yang sangat besar yang diberikan oleh Allâh kepada mereka.
KEWAJIBAN MEREKA TERHADAP KARUNIA YANG MEREKA TERIMA
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
(Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya!’ (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun [Saba’/34:15]
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk menikmati nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan itu dan bersyukur kepada-Nya.
Firman Allah Ta’ala:
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun [Saba’/34:15]
Maksud dari negeri yang baik adalah negeri yang baik hawa dan suhunya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Baghawi [8] Adapun pengertian Rabb yang Maha Pengampun adalah Yang Maha mengampuni dosa-dosa kalian, jika kalian senantiasa berada di atas tauhid, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Katsîr [9] .
Qatâdah berkata, “Rabb kalian Maha mengampuni dosa-dosa kalian atau kaum yang telah diberi kenikmatan. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada mereka untuk menaati-Nya dan melarang mereka untuk melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya.”[10]
KEHANCURAN KAUM SABA’
Sebelum Ratu Bilqis masuk Islam, kaum Saba’ menyembah matahari dan bintang-bintang. Setelah beliau memeluk Islam, maka kaumnya pun mengikutinya.
Sampai kurun waktu tertentu, kaum Saba’ dalam keadaan bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla , hingga akhirnya kembalilah mereka ke agama nenek moyang mereka.
Allâh Azza wa Jalla telah mengutus tiga belas rasul kepada mereka[11] . Akan tetapi, mereka tetap saja tidak mau kembali ke dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla pun murka dan menghancurkan bendungan yang telah mereka buat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir Al-‘Arim [Saba’/34:16]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna a-‘aim di ayat tersebut. Makna a-‘aim yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut: bendungan, air yang ditampung bendungan, air yang sangat besar, nama wâdi (lembah), tikus yang menghancurkan bendungan dan nama banjir.[12]
PENYEBAB HANCURNYA BENDUNGAN MA’RIB
Allâh-lah yang menghancurkan bendungan itu. Di hampir seluruh buku-buku tafsir disebutkan bahwa sebab kehancuran bendungan adalah adanya seekor tikus besar (lebih besar daripada kucing) yang diutus oleh Allâh Azza wa Jalla untuk melubangi bendungan itu.
Ada sebab lain yang disebutkan oleh Ibnu ‘Âsyûr rahimahullah yaitu; pertama dikarenakan terjadinya perang saudara di antara mereka sehingga tidak sempat memperbaiki kerusakan yang terjadi di bendungan itu, dan yang kedua dikarenakan ulah musuh-musuh kaum Saba’ pada saat itu yang dengan sengaja menghancurkan bendungan itu [13] . Allâhu a’lam (Allâh-lah yang Maha Mengetahui) mana yang benar dari sebab-sebab yang disebutkan. Tetapi yang jelas, Allâh-lah yang menghancurkannya sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini.
Kehancuran bendungan Ma’rib terjadi sekitar tahun 542 M. Kehancuran bendungan itu mengakibatkan banyak kerusakan pada kaum Saba’ dan kehancuran kerajaan mereka.
KEADAAN KAUM SABA’ SETELAH HANCURNYA BENDUNGAN MA’RIB
Allâh Azza wa Jalla menceritakan keadaan mereka setelah hancurnya bendungan Ma’rib dengan firman-Nya:
Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr [Saba’/34:16]
Kedua kebun mereka yang menjadi sumber penghidupan, kekayaan dan kekuatan mereka digantikan oleh Allâh Azza wa Jalla dengan kebun yang jelek, yang tidak bermanfaat untuk kehidupan mereka.
Firman Allâh ta’âla: “(pohon-pohon) yang berbuah pahit” yaitu pohon siwak (أرَاك/Toothbrush tree /Salvadora persica) dan buahnya yang pahit (dalam bahasa arab disebut barîr). Ini adalah pendapat jumhur mufassirîn, seperti Ibnu ‘Abbâs, Mujâhid, ‘Ikrimah, Athâ’, Qatâdah, Al-Hasan, As-Suddi dll.
Sedangkan pohon atsl adalah pohon tamarisk (طَرْفَاء/Tamarix aphylla). Ia sejenis pohon cemara.
Sedangkan pohon sidr adalah pohon bidara (Indian pulm/Ziziphus mauritiana) [14] .
Dengan keadaan seperti itu, kaum Saba’ tidak bisa bertahan, sehingga hancurlah kerajaan mereka. Kehancuran ini diperkirakan terjadi pada tahun 550 M.
Mereka terpaksa harus mencari tempat tinggal yang baru. Mereka pun berhijrah ke berbagai tempat. Enam kabilah dari kaum Saba’ berpencar di Yaman dan empat kabilah lainnya berpencar di Syam sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan. Ini semua adalah akibat ulah mereka sendiri. Mereka tidak bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla dan menyembah selain-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir [Saba’/34:17]
Ini juga sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
Dan Allâh telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allâh. Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya. Karena itu, mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zhalim.” [an-Nahl/16:112-113]
Sungguh mengerikan bukan kisah kehancuran kaum Saba’! Mereka kufur terhadap nikmat Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla mengabadikan kisah mereka di dalam al-Qur’ân dan memberi nama surat yang memuat kisah mereka dengan nama surat Saba’. Ini agar orang-orang terus mengingat, membicarakan dan mengenang kisah ini.
Di akhir kisah kaum Saba’, Allâh mengakhiri firman-Nya dengan :
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur [Saba’/34:19]
Mudah-mudahan kita semua termasuk hamba Allâh yang bisa bersabar menghadapi segala ujian di dunia ini dan bisa selalu bersyukur.
Allâhummaj’alnâ minashshâbirîn asy-syâkirîn. Mudah-mudahan bermanfaat. Amin.
KESIMPULAN
1. Saba’ adalah nama seorang laki-laki yang kaum Saba’ menisbatkan dirinya kepadanya.
2. Karena memiliki bendungan yang sangat besar dan kebun-kebun yang sangat luas, kerajaan Saba’ menjadi sangat makmur dan memiliki bala tentara yang sangat kuat.
3. Kaum Saba’ selama beberapa lama sempat bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
4. Mereka tidak bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla dan kembali menyembah matahari dan bintang-bintang, sehingga Allâh Azza wa Jalla menurunkan azabnya dengan menghancurkan bendungan Ma’rib yang mereka buat.
5. Dengan adzab yang Allâh Azza wa Jalla turunkan itu, hancurlah semua kebun yang mereka banggakan selama beratus-ratus tahun dan Allâh Azza wa Jalla gantikan dengan kebun-kebun yang tidak berarti.
6. Kaum Saba’ tidak bisa bertahan dengan keadaan seperti itu, sehingga mengakibatkan hancurnya kerajaan mereka dan berpencarnya sepuluh kabilah kaum Saba’ di daerah Yaman dan Syam.
7. Ini semua adalah balasan bagi orang yang sangat kafir kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak mensyukuri nikmat-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Madinah: Kompleks Percetakan Mushhaf Raja Fahd.
2. Al-Jâmi’ li ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. 1423 H/2003 M. Riyadh: Dar ‘Âlam Al-Kutub.
3. Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait. Mesir: Mathâbi’ Dar Ash-Shafwah.
4. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tinusia: Dar Sahnûn.
5. Fathul-Qadîr. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukâni. 1429 H/2008 M. Mesir: Dârul-Wafâ’.
6. Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muuammad bin Jarîr Ath-Thabari. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
7. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. Riyadh:Dâr Ath-Thaibah.
8. Musnad Ahmad. Ahmad bin Hanbal. Tahqiq: Syu’aib Al-Arnaûth. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
9. Shahîh Sunan Abi Dâwud. Muhammad bin Nâshiruddin Al-Albâni. 1421 H/2000 M. Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif.
10. Shahîh At-Targhîb wa At-Tarhîb. Muhammad bin Nâshiruddin Al-Albâni. Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif.
11. Sunan Abî Dâwud. Abu Dâwud Sulaimân bin Al-Asy’ats As-Sajistâni. Riyadh: Maktabah Al-Ma’ârif.
12. Sunan At-Tirmidzi. Abu ‘Îsa At-Tirmidzi. Riyadh: Maktabah Al-Ma’ârif.
13. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1999. Riyadh: Dâr Ath-Thaibah.
14. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
Lihat terjemahan ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya di dalam artikel ini di ‘Al-Qur’an dan Terjemahannya’.
[1]. HR Abû Dâwud no. 3988 dan at-Tirmidzi no. 3222. Hadîts ini di-shahîh-kan oleh Syaikh al-Albâni di Shahîh Sunan Abî Dâwud 2/492
[2]. HR Ahmad no. 2898. Hadîts ini dihasankan oleh Ibnu Katsîr di dalam tafsirnya 4/506 dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth di catatan kaki Musnad Ahmad
[3]. Penulis banyak mengambil sisi historis pada artikel ini dari http://ar.wikipedia.org/wiki/ dan http://marebpress.net.
[4]. Lihat perkataan mereka berdua di Tafsîr ath-Thabari 20/ 376-377
[5]. Fathul-Qadîr 4/ 422
[6]. Lihat Tafsîr ath-Thabari 20/ 378 dan Tafsîr al-Baghawi j6/394
[7]. Wâdi adalah sungai yang terisi air pada saat hujan saja. Adapun saat tidak ada hujan maka tanahnya akan menjadi kering.
[8]. Lihat Tafsîr al-Baghawi 6/ 393.
[9]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr j6/507.
[10]. Tafsîr ath-Thabari j20/ 377.
[11]. Lihat Tafsîr al-Baghawi 6/393 dan Tafsîr Ibni Katsîr 6/507.
[12]. Lihat Tafsîr Ath-Thabari 20/ 378, Tafsîr al-Baghawi 6/394, Tafsîr Ibni Katsîr 6/ 506 dan Tafsîr al-Qurthubi 14/ 285-286.
[13]. Lihat at-Tahrîr wa at-Tanwir 22/169
[14]. Lihat Tafsîr al-Baghawi 6/395 dan Tafsîr Ibni Katsîr 6/508.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3571-pelajaran-dari-kehancuran-kaum-saba.html
No comments:
Post a Comment