Adab dan Doa Berpuasa - RUMAH QURAN Network

15 September 2007

Adab dan Doa Berpuasa

A. Makan Sahur dan Imsak

Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:




“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)

Dari Salman ra, Rasulullah SAW bersabda:



“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)


Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:


“Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)


Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran Nabi SAW tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah SAWbersabda:




“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)


Bahkan bagi orang yang ketika adzan (pertama) dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.


Yang dimaksud adzan pertama adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam.


Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:



“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i r.dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)


Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:




“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:




“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)


Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.


Firman Allah SWT:



“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)


Berkata As-Sa’di r. : “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)


B. Berbuka Puasa

Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:



Para shahabat Muhammad SAW adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar r.menshahihkan sanadnya)


Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin r. :

“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)


Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.


Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Sahl bin Sa’ad ra meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:



“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)


Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:



“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)


Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:



“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani r. )


Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah ra :




“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)


Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas ra bahwa Rasulullah SAW berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik ra berkata:




“Adalah Nabi SAW berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani r. )


Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:




“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar c dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani r. )


Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah SAW:



“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)


Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja

Allah SWT berfirman:




“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)


Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah SAW:




“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)


b. Keluar darah haidh dan nifas

Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah ra :

“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.


c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan

Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.


Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:




“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)


Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.


d. Berbekam

Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah SAW:




“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)


Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.


Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja

Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:




“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)


Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi r.

Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.


b. Menggunakan cairan pengganti makanan seperti infus

Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:

1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasanya, sebab nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.


2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin r.dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz r.dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam r.dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).


Namun Asy-Syaikh Muqbil r.menasehatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)


c. Onani

Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah SWTberfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:




“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)


Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak

Rasulullah SAWbersabda:



“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)


b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah ra bahwa Nabi SAW mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)


c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan

Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:




“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)


d. Menggauli istri selain bersetubuh

Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah x:

“Adalah Rasulullah SAW mencium (istrinya) dan beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)


e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongannya

Berkata Ibnu ‘Abbas ra :

“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)


f. Mandi di siang hari

Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi SAWyang telah lalu.



Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah

b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat

Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan:



“Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-Bukhari)


c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa

Rasulullah SAWbersabda:



“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani r.dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq.

NB: ra = Radhiallahu 'Anhuma, r = rahimahullahu

Contributed by: Asysyariah online

No comments: